Sejarah Perekonomian Indonesia | Perekonomian Indonesia #
Indonesia adalah negara yang memiliki letak geografis
yang sangat strategis, karena berada di antara dua benua (Asia dan Eropa) serta
dua samudra (Pasifik dan Hindia), sebuah posisi yang strategis dalam jalur
pelayaran perdagangan antar benua. Perdagangan saat itu mengenal sebutan jalur
sutra laut, yaitu jarur dari Tiongkok dan Indonesia yang melalui Selat Malaka
menuju ke India. Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai
pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah
di Barat (Kekaisaran Romawi). Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional
disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh
raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat
perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai
zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari
berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu,
karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang lewat di daerah
mereka.
Dalam suatu negara, proses dinamika pembangunan
ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu internal (domestik) dan eksternal
(global). Yang termasuk ke dalam faktor internal yaitu kondisi fisik (iklim),
lokasi geografi, jumlah dan kualitas SDA, SDM yang dimiliki, dan kondisi awal
perekonomian. Sedangkan faktor eksternal meliputi perkembangan teknologi,
kondisi perekonomian dan politik dunia, serta keamanan global.
Sudah 73 tahun Indonesia merdeka. Akan tetapi kondisi
perekonomian Indonesia tidak juga membaik. Masih terdapat ketimpangan ekonomi,
tingkat kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, serta pendapatan per kapita
yang masih rendah. Untuk dapat memperbaiki sistem perekonomian di Indonesia,
kita perlu mempelajari sejarah tentang perekonomian Indonesia dari masa orde
lama hingga masa reformasi. Dengan mempelajari sejarahnya, kita dapat
mengetahui kebijakan-kebijakan ekonomi apa saja yang sudah diambil pemerintah
dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia serta dapat memberikan
kontribusi untuk mengatasi permasalah ekonomi yang ada. Sistem perekonomian di
Indonesia dibagi menjadi empat masa yaitu masa pra kemedekaan, masa orde lama,
masa orde baru dan masa reformasi.
Sejarah Perekonomian Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Sebelum merdeka,
Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada
empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda,Inggris,
dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena
keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar
350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini.
Untuk menganalisa
sejarah perekonomian Indonesia, rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda
menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka
berlakukan di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu).
· Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC)
Belanda yang saat
itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di Hindia
Belanda. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan
tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus
untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris).
Untuk mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
1)
Hak
mencetak uang
2)
Hak
mengangkat dan memberhentikan pegawai
3)
Hak
menyatakan perang dan damai
4)
Hak
untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
5)
Hak
untuk membuat perjanjian dengan raja-rajaHak-hak itu seakan melegalkan
keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak
berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC.
Kenyataannya,
sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai
permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan
jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas
komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup
penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte
leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak
hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga
menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya
pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran
Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi
peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang
memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan memonopoli
rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan
begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu juga
diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk
Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton, melebihi
ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton. Namun, berlawanan dengan kebijakan
merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda justru
mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi. Karena
selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi
imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan dalam
jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun
1870-an.
Pada tahun 1795,
VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda.
Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain disebabkan oleh
:
a.
Peperangan
yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama perang
Diponegoro.
b.
Penggunaan tentara sewaan membutuhkan biaya
besar.
c.
Korupsi
yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
d.
Pembagian
dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit. Maka, VOC
diambil-alih (digantikan) oleh Republik Bataaf (Bataafsche Republiek).
Republik Bataaf
dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena
peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon),
kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat
ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat
oleh blokade Inggris di Eropa. Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris
mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.
·
Pendudukan
Inggris (1811-1816)
Inggris berusaha
merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh
Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil di
India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di
Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan
memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India.
Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk
dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari
negara penjajah. Sesuai dengan teori-teori mazhab klasik yang saat itu sedang
berkembang di Eropa, antara lain :
a.
Pendapat
Adam Smith bahwa tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang menghasilkan
benda konkrit dan dapat dinilai pasar, sedang tenaga kerja tidak produktif
menghasilkan jasa dimana tidak menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi. Dalam
hal ini, Inggris menginginkan tanah jajahannya juga meningkat kemakmurannya, agar
bisa membeli produk-produk yang di Inggris dan India sudah surplus (melebihi
permintaan).
b.
Pendapat
Adam Smith bahwa salah satu peranan ekspor adalah memperluas pasar bagi produk
yang dihasilkan (oleh Inggris) dan peranan penduduk dalam menyerap hasil
produksi.
c.
The
quantity theory of money bahwa kenaikan maupun penurunan tingkat harga
dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.
Akan tetapi,
perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan
bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang Cuma seumur jagung
di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
a.
Masyarakat
Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk
menghitung luas tanah yang kena pajak.
b.
Pegawai
pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
c.
Kebijakan
ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau
mengakui suksesi jabatan secara turun-temurun.
·
Sistem
Tanam Paksa
Cultuurstelstel
(sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den
Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada
permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan
produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh,
kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi
amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi
(monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat
perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Sistem ini
merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang
pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor
dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan
harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel melibatkan para
bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik
Mataram–yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak
mendapat imbalan–dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten
(imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang masuk gudang).
Bagi masyarakat
pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka,
apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya
adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang
pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di
pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda,
ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang
mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat
pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk
yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya, dengan
menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah
dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan
tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa
perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya
yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih
(Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai
kapitalis.
·
Sistem
Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya desakan
dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke
arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah
kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang
antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75
tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal
ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain
terlihat pada :
a.
Keberadaan
pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola
perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai
buruh penggarap tanah.
b.
Prinsip
keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos
tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan
mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
c.
Laissez
faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas,
pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang
sesungguhnya. Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli
kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.
·
Pendudukan
Jepang (1942-1945)
Pemerintah militer
Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung
gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi
perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan
rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi
bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk
pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet,
sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh
pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai
memenangkan perang Pasifik.
Perekonomian Pada Masa Orde Lama
Masa
Pasca Kemerdekaan (1945-1950).
Keadaan ekonomi
keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh
:
Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena
beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu,
untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di
wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia
Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
Kemudian pada
tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East
Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai
sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas
baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang.
Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi
kenaikan tingkat harga.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda
sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI. Kas
negara kosong, eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang
dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
a.
Program
Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946. Upaya menembus blokade
dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta
Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura
dan Malaysia.
b.
Konferensi
Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan.
c.
Pembentukan
Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947 Rekonstruksi dan
Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 mengalihkan tenaga bekas angkatan
perang ke bidang-bidang produktif. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha
swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan
swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat :
sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Masa
Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut
masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan
prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori
mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha
pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi,
terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi
perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengatasi masalah eko nomi, antara lain :
a.
Gunting
Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b.
Program
Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing
dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya
pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan
pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional.
Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif
dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c.
Nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th
1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d.
Sistem
ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan
pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha
pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan
bantuan kredit dari pemerintah.
e.
Pembatalan
sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan
pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan
tersebut.
Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat
dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi
terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme
(segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan
membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi
(Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil
pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia,
antara lain :
a.
Devaluasi
yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang
kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp
100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan..
b.
Pembentukan
Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi
perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c.
Devaluasi
yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp
1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah
lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih
tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah
meningkatkan angka inflasi. Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter
itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya.
Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan
juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara
Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan
sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke
Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
Perekonomian Pada Masa Orde Baru
Pada awal orde
baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama.
Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan
keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi
mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per
tahun.
Setelah melihat
pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha
pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak
memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka
sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori
Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas.
Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan
menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan
kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah
mulai berkiblat pada teori-teori Keynesian.
Kebijakan
ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur
pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan,
kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda,
penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan
pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan
yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun). Hasilnya, pada tahun 1984
Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan
indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan
penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat.
Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah
kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.
Namun dampak
negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber
daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar
kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar
negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang
sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan
ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga
meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental
pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi krisis yang
merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling
buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan
cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.
Sejarah Perekonomian Indonesia Pada Masa Reformasi
Orde reformasi dimulai saat kepemimpinan
presiden BJ.Habibie, namun belum terjadi peningkatan ekonomi yang cukup
signifikan dikarenakan masih adanya persoalan-persoalan fundamental yang
ditinggalkan pada masa orde baru. Kebijakan yang menjadi perhatian adalah cara
mengendalikan stabilitas politik. Sampai pada masa kepemimipinan presiden
Abdurrahman Wahit, Megawati Soekarnoputri, hingga sekarang masa kepemimpinan
presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun masalah-masalah yang diwariskan dari masa
orde baru masih belum dapat diselesaikan secara sepenuhnya. Bisa dilihat dengan
masih adanya KKN, inflasi, pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, dan melemahnya
nilai tukar rupiah yang menjadi masalah polemik bagi perekonomian Indonesia.
Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah yang mendesak untuk dipecahkan
adalalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan yang dilakukan untuk
mengatasi persoalan ekonomi antara lain :
a. Meminta penundaan
utang sebesar US$ 5,8 Milyar pada pertemuan paris Club ke-3 dan mengalokasikan
pemabayaran utang luar negri sebesar 116,3 Trilliun.
b. Kebijakan privatisasi
BUMN. Privatisasi yaitu menjual perusahaan negara di dalam periode krisis
dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan
politik dan mengurangi beban negara. Penjaualan tersebut berhasil menaikan
partumbuhan ekonomi Indonesia menajadi 4,1%. Namun kebijakan ini menibulkan
kontroversi yaitu BUMN yang di privatisasikan dijual pada perusahaan asing.
c. Di masa ini juga
direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada
langkah nyata dalam pemberantasan korupsi.
Masa kepemimpinan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama Presiden
Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, yang dilatarbelakangi oleh naiknya
harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan
dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan
masyrakat. Kemudian muncul pula kebijakan kontroversial yang kedua yakni BLT
bantuan langsung tunai bagi masyarakat miskin. Namun kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagaiannya juga banyak menimbulkan masalah
sosial. Kebijkan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur summit pada bulan 2006 lalu, yang
mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. Dengan semakin banyak
investasi asing di Indonesia, diharapakan jumlah kesempatan kerja juga akan
bertambah. Pada pertengahan bulan oktober 2006 Indonesia melunasi seluruh sisa
hutang pada IMF sebesar 3,2 Miliar dolar AS. Harapan kedepannya adalah
Indonesia tidak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan
dalam negeri.
Masa kepemimpinan Bapak Joko Widodo
PADA masa
pemerintahannya, Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa Jokowi merombak struktur
APBN dengan lebih mendorong investasi, pembangunan infrastruktur, dan melakukan
efisiensi agar Indonesia lebih berdaya saing. Namun, grafik pertumbuhan ekonomi
Indonesia selama empat tahun masa pemerintahan Jokowi terus berada di bawah pertumbuhan
pada era SBY. Pada 2015, perekonomian Indonesia kembali terlihat rapuh. Rupiah
terus menerus melemah terhadap dollar AS. Saat itu, ekonomi Indonesia tumbuh
4,88 persen. "Defisit semakin melebar karena impor kita cenderung naik
atau ekspor kita yang cenderung turun," kata Lana. Di era Jokowi kata
Lana, arah perekonomian Indonesia tak terlihat jelas. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) seolah hanya sebagai dokumen tanpa pengawasan
dalam implementasinya.
Dalam kondisi itu, tak diketahui sejauh
mana RPJMN terealisasi. Ini tidak seperti repelita yang lebih fokus dan
pengawasannya dilakukan dengan baik sehingga bisa dijaga.
Pada 2016, ekonomi Indonesia mulai terdongkrak tumbuh 5,03 persen.
Dilanjutkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,17. Berdasarkan
asumsi makro dalam APBN 2018, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomis 2018
secara keseluruhan mencapai 5,4 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi di kuartal
I-2018 ternyata tak cukup menggembirakan, hanya 5,06 persen. Sementara pada
kuartal II-2018, ekonomi tumbuh 5,27 persen dibandingkan periode yang sama
tahun lalu. Hanya ada sedikit perbaikan dibandingkan kuartal sebelumnya.
Pada Senin (5/11/2018), BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
kuartal III-2018 sebesar 5,17 persen, malah melambat lagi dibandingkan kuartal
sebelumnya. Untuk kuartal IV-2018, pertumbuhan ekonomi diprediksi meleset dari
asumsi APBN. Bank Indonesia, misalnya, memprediksi pertumbuhan Indonesia secara
keseluruhan pada 2018 akan berada di batas bawah 5 persen.
Referensi
:
http://pipsapatlas.blogspot.com/2015/09/sejarah-perekonomian-indonesia.html (diakses pada tanggal 28/03/19)
https://ekonomi.kompas.com/jeo/jejak-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-dari-masa-ke-masa (diakses pada tanggal 28/03/19)
http://hhmakalah.blogspot.com/2016/09/makalah-sejarah-perekonomian-indonesia.html (diakses pada tanggal 28/03/19)
http://yadhiephb.blogspot.com/2013/04/sejarah-perekonomian-indonesia.html (diakses pada tanggal 28/03/19)
Komentar
Posting Komentar